Selasa, 30 April 2019

PODOSOAN Menurut Suku Balantak

PODOSOAN
(Memahami Realitas Mistik Suku Balantak)
Oleh Harly Mua, S.Fils., M.A

1. Pengantar
Setiap suku bangsa di dunia ini memiliki pemahaman dan kepercayaan terhadap dunia mistik. Dunia mistik tersebut kemudian diyakini sebagai bentuk kepercayaan terhadap sesuatu “yang ada” dibalik dari yang tak kelihatan. Sesuatu yang tak kelihatan itu diyakini memiliki tempat bersemayam. Tempat bersemayam itulah yang kemudian ‘disakralkan’ oleh suku bangsa menjadi tempat keramat. Tempat keramat adalah tempat dimana sesuatu “yang tak kelihatan” namun diyakini memiliki “keberadaan” dan  berpengaruh terhadap alam dan manusia. Dalam konteks ini, realitas yang tak kelihatan dan memiliki pengaruh terhadap alam dan manusia adalah bentuk dari kepercayaan animisme (roh-roh) dan dinamisme (benda sakti). Suku bangsa di dunia ini sebelum mengenal agama, mereka terlebih dahulu menganut kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme. Tak ketinggalan pula, nenek moyang Suku Balantak yang terletak di Kabupaten Banggai, Kecamatan Mantoh, Sulawesi Tengah awalnya percaya kepada animisme dan dinamisme. Kepercayaan terhadap dunia roh-roh dan benda-benda sakti disebut sebagai Kepercayaan Mimbolian. Dalam tradisi Mimbolian, ritual-ritual terhadap roh-roh yang mendiami dunia Suku Balantak sering dilakukan. Nenek Moyang Suku Balantak percaya bahwa dunia roh mendiami tempat keramat yang disebut PODOSOAN.

2. PODOSOAN
      Membahas mengenai Podosoan tidak bisa dilepaskan dengan tradisi Mimbolian. Karena hanya mereka yang “mengimani” Mimbolian yang paham secara tepat tempat, keberadaan dan ritual yang harus dilakukan di Podosoan. Secara terminologi, Podosoan berasal dari kata dasar doso, yang berarti dilarang, tidak boleh dibuat dan yang memiliki makna apabila dilanggar akan fatal. Jadi, Podosoan adalah tempat bersemayamnya para makhluk halus, sehingga dianggap keramat dan mistik serta dilarang melakukan aktifitas pada tempat itu. Bila dilanggar akan kena musibah. Makhluk halus ini bisa jahat kapan saja atau akan menjadi jahat bila mereka diganggu oleh manusia. Menurut tua-tua Balantak, makhluk halus yang tinggal di Podosoan ada banyak jumlahnya dan dapat menjelma menjadi apa saja bisa menjelma menjadi manusia (pria atau wanita) atau hewan. Istilah lain dari Podosoan adalah Tano’ Mapanas (Tanah yang panas). Menurut para tetua suku Balantak, apabila ada masyarakat yang menggarap tanah di Tano’ Mapanas akan mendapatkan malapetaka (balaa’) hingga kematian.
Podosoan sebagai sumber Malapetaka
   Menurut kepercayaan Nenek Moyang suku Balantak, mengambil/menebang pohon atau hasil hutan yang ada di dalam Podosoan akan mendapatkan malapetaka. Menurut mereka, manusia tidak boleh mengganggu kediaman para makhluk halus yang ada di tempat itu. Mereka akan marah dan membunuh seluruh keluarga yang mengganggu mereka. Penghuni Podosoan sewaktu-waktu menampakkan diri pada manusia dengan menjelma menjadi manusia yang tak dikenal (pria atau wanita tua-muda), Kera besar, ular, burung, jin (orang Balantak menyebutnya Dim), dan sebagainya. Bila ada warga yang terlanjur mengambil hasil hutan di Podosoan, sebelum terjadi Malapetaka yang dasyat maka didahului dengan ritual Mimbolian di tempat Podosoan. Ritual Mimbolian ini disebut mamakaan yakni memberi makan terhadap penghuni Podosoan sebagai bentuk permohonan ampun atas kesalahan. Bahan yang diberikan dalam mamakaan ini antara lain daging babi, ayam atau kambing mentah. Ritual mamakaan ini dimaknai pula sebagai montolosi yakni menukarkan sesuatu yang telah diambil dari hutan Podosoan.

Tempat-tempat Podosoan
        Di setiap kampung yang ada di Wilayah Suku Balantak memiliki tempat Podosoan dengan nama tempat yang berbeda-beda sesuai penamaan di kampung tersebut. Penulis memberikan contoh nama-nama tempat yang memiliki Podosoan yang ada di Desa Sulubombong yakni Konosopana, Sungkele’, Laindungan, Watu Dangean, Karakas, Madupi dan sebagainya. Seringkali kita mendengar mian na Madupi, mian na Konosopana, mian na Sungkele, dan seterusnya. Hampir semua tempat aktifitas perkebunan masyarakat desa Sulubombong ada tempat-tempat khusus yang mereka sebut sebagai Podosoan. Bahkan setiap kali melewati tempat tersebut tidak boleh ribut.
Apakah tempat Podosoan bisa diolah?
Dahulu kala, namanya Tano’ Mapanas tidak boleh digarap sebagai perkebunan bahkan apabila dikemudian hari tanah perkebunan warga dianggap sebagai Tano’ Mapanas maka hari itu juga pemilik harus meninggalkan tanah itu bahkan menjualnya dengan harga termurah kepada warga lain yang tidak percaya adanya Podosoan.  Namun kini jaman telah berubah. Mereka yang tidak percaya terhadap Podosoan akan menggarap lahan sebagai perkebunan. Akan tetapi sebagian besar penduduk asli Suku Balantak sebelum mengolah lahan yang dianggap Podosoan mereka terlebih dahulu bertanya kepada Bolian tentang hal ikhwal yang harus disiapkan untuk diritualkan agar tidak ada gangguan dari Tombono Tano (empunya tanah) Podosoan.

(Tulisan ini merupakan bagian kecil dari kajian dan penelitian saya mengenai Kebudayaan Suku Balantak sewaktu menjadi mahasiswa Magister Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2013. Silahkan dicopy asal mencantumkan nama penulis dan sumber blognya. Terima kasih)

Senin, 22 April 2019

DESA SULUBOMBONG

DESA SULUBOMBONG oleh Harly Mua, S.Fils., M.A

Desa Sulubombong terletak di Kecamatan Mantoh, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Penduduk desa ini merupakan asli Suku Balantak. Mereka termasuk Sub Suku Lo'on Balantak. Mereka menggunakan bahasa Balantak dgn dialek Lo'on sebagai bahasa sehari-hari. ARTI NAMA SULUBOMBONG: Sulubombong berasal dari Bahasa Balantak yang merupakan nama dari RUMPUT BERDURI YANG DAPAT MENEMPEL DI PAKAIAN. Biasa disebut Rakut Sulubombong. Rumput ini biasa tumbuh di lapangan. Konon menurut Bpk. LEONARDUS Mua (Kepala Desa ke Dua  dan Tonggol atau pemangku Adat terlama hingga wafat) dan Bpk. Adelbert Mua (mantan kepala desa) mengatakan bahwa dahulu kala di daerah tersebut banyak sekali Rumput Sulubombong maka oleh tetua adat pada waktu itu menamai nama kampung yang baru itu dengan SULUBOMBONG. Nama Sulubombong BUKAN terdiri dari Sulu dan Bombong melainkan satu kata SULUBOMBONG. Mereka yang GAGAL PAHAM sejarah Sulubombong mengubah Sulubombong menjadi Sulu artinya lampu dan Bombong artinya dinding, Lampu Dinding. Mereka tidak paham bahwa kata Sulu tidak ada dalam Bahasa Balantak. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Sulubombong sudah menjadi sebuah kampung yang dihuni oleh Marga besar antara lain marga Dana, marga Mua dan sebagainya.
Agama kepercayaan masyarakat tersebut (semua suku Balantak) adalah MIMBOLIAN. MIMBOLIAN adalah percaya pada animisme dan dinamisme. Meskipun sudah memeluk agama kekristenan namun masyarakat tersebut masih ada yg menganut paham Bolianisme. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat dengan ritual-ritual adatnya. Segala sesuatu baik pengetahuan maupun tindak-tanduk masyarakat Suku Balantak bersumber dari ajaran Mimbolian. Saat ini masyaratak Desa Sulubombong sudah memeluk agama yakni Agama Kristen Katolik (mayoritas) dan Kristen Protestan. Masing-masing pemeluk agama saling menghormati dan menghargai sehingga tidak ada gesekkan yg disebabkan karena perbedaan gereja. Mata pencaharian penduduk desa ini adalah Petani, Nelayan, Aparatur Negeri Sipil, Tukang, dan Wiraswasta.