Selasa, 30 April 2019

PODOSOAN Menurut Suku Balantak

PODOSOAN
(Memahami Realitas Mistik Suku Balantak)
Oleh Harly Mua, S.Fils., M.A

1. Pengantar
Setiap suku bangsa di dunia ini memiliki pemahaman dan kepercayaan terhadap dunia mistik. Dunia mistik tersebut kemudian diyakini sebagai bentuk kepercayaan terhadap sesuatu “yang ada” dibalik dari yang tak kelihatan. Sesuatu yang tak kelihatan itu diyakini memiliki tempat bersemayam. Tempat bersemayam itulah yang kemudian ‘disakralkan’ oleh suku bangsa menjadi tempat keramat. Tempat keramat adalah tempat dimana sesuatu “yang tak kelihatan” namun diyakini memiliki “keberadaan” dan  berpengaruh terhadap alam dan manusia. Dalam konteks ini, realitas yang tak kelihatan dan memiliki pengaruh terhadap alam dan manusia adalah bentuk dari kepercayaan animisme (roh-roh) dan dinamisme (benda sakti). Suku bangsa di dunia ini sebelum mengenal agama, mereka terlebih dahulu menganut kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme. Tak ketinggalan pula, nenek moyang Suku Balantak yang terletak di Kabupaten Banggai, Kecamatan Mantoh, Sulawesi Tengah awalnya percaya kepada animisme dan dinamisme. Kepercayaan terhadap dunia roh-roh dan benda-benda sakti disebut sebagai Kepercayaan Mimbolian. Dalam tradisi Mimbolian, ritual-ritual terhadap roh-roh yang mendiami dunia Suku Balantak sering dilakukan. Nenek Moyang Suku Balantak percaya bahwa dunia roh mendiami tempat keramat yang disebut PODOSOAN.

2. PODOSOAN
      Membahas mengenai Podosoan tidak bisa dilepaskan dengan tradisi Mimbolian. Karena hanya mereka yang “mengimani” Mimbolian yang paham secara tepat tempat, keberadaan dan ritual yang harus dilakukan di Podosoan. Secara terminologi, Podosoan berasal dari kata dasar doso, yang berarti dilarang, tidak boleh dibuat dan yang memiliki makna apabila dilanggar akan fatal. Jadi, Podosoan adalah tempat bersemayamnya para makhluk halus, sehingga dianggap keramat dan mistik serta dilarang melakukan aktifitas pada tempat itu. Bila dilanggar akan kena musibah. Makhluk halus ini bisa jahat kapan saja atau akan menjadi jahat bila mereka diganggu oleh manusia. Menurut tua-tua Balantak, makhluk halus yang tinggal di Podosoan ada banyak jumlahnya dan dapat menjelma menjadi apa saja bisa menjelma menjadi manusia (pria atau wanita) atau hewan. Istilah lain dari Podosoan adalah Tano’ Mapanas (Tanah yang panas). Menurut para tetua suku Balantak, apabila ada masyarakat yang menggarap tanah di Tano’ Mapanas akan mendapatkan malapetaka (balaa’) hingga kematian.
Podosoan sebagai sumber Malapetaka
   Menurut kepercayaan Nenek Moyang suku Balantak, mengambil/menebang pohon atau hasil hutan yang ada di dalam Podosoan akan mendapatkan malapetaka. Menurut mereka, manusia tidak boleh mengganggu kediaman para makhluk halus yang ada di tempat itu. Mereka akan marah dan membunuh seluruh keluarga yang mengganggu mereka. Penghuni Podosoan sewaktu-waktu menampakkan diri pada manusia dengan menjelma menjadi manusia yang tak dikenal (pria atau wanita tua-muda), Kera besar, ular, burung, jin (orang Balantak menyebutnya Dim), dan sebagainya. Bila ada warga yang terlanjur mengambil hasil hutan di Podosoan, sebelum terjadi Malapetaka yang dasyat maka didahului dengan ritual Mimbolian di tempat Podosoan. Ritual Mimbolian ini disebut mamakaan yakni memberi makan terhadap penghuni Podosoan sebagai bentuk permohonan ampun atas kesalahan. Bahan yang diberikan dalam mamakaan ini antara lain daging babi, ayam atau kambing mentah. Ritual mamakaan ini dimaknai pula sebagai montolosi yakni menukarkan sesuatu yang telah diambil dari hutan Podosoan.

Tempat-tempat Podosoan
        Di setiap kampung yang ada di Wilayah Suku Balantak memiliki tempat Podosoan dengan nama tempat yang berbeda-beda sesuai penamaan di kampung tersebut. Penulis memberikan contoh nama-nama tempat yang memiliki Podosoan yang ada di Desa Sulubombong yakni Konosopana, Sungkele’, Laindungan, Watu Dangean, Karakas, Madupi dan sebagainya. Seringkali kita mendengar mian na Madupi, mian na Konosopana, mian na Sungkele, dan seterusnya. Hampir semua tempat aktifitas perkebunan masyarakat desa Sulubombong ada tempat-tempat khusus yang mereka sebut sebagai Podosoan. Bahkan setiap kali melewati tempat tersebut tidak boleh ribut.
Apakah tempat Podosoan bisa diolah?
Dahulu kala, namanya Tano’ Mapanas tidak boleh digarap sebagai perkebunan bahkan apabila dikemudian hari tanah perkebunan warga dianggap sebagai Tano’ Mapanas maka hari itu juga pemilik harus meninggalkan tanah itu bahkan menjualnya dengan harga termurah kepada warga lain yang tidak percaya adanya Podosoan.  Namun kini jaman telah berubah. Mereka yang tidak percaya terhadap Podosoan akan menggarap lahan sebagai perkebunan. Akan tetapi sebagian besar penduduk asli Suku Balantak sebelum mengolah lahan yang dianggap Podosoan mereka terlebih dahulu bertanya kepada Bolian tentang hal ikhwal yang harus disiapkan untuk diritualkan agar tidak ada gangguan dari Tombono Tano (empunya tanah) Podosoan.

(Tulisan ini merupakan bagian kecil dari kajian dan penelitian saya mengenai Kebudayaan Suku Balantak sewaktu menjadi mahasiswa Magister Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2013. Silahkan dicopy asal mencantumkan nama penulis dan sumber blognya. Terima kasih)

Senin, 22 April 2019

DESA SULUBOMBONG

DESA SULUBOMBONG oleh Harly Mua, S.Fils., M.A

Desa Sulubombong terletak di Kecamatan Mantoh, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Penduduk desa ini merupakan asli Suku Balantak. Mereka termasuk Sub Suku Lo'on Balantak. Mereka menggunakan bahasa Balantak dgn dialek Lo'on sebagai bahasa sehari-hari. ARTI NAMA SULUBOMBONG: Sulubombong berasal dari Bahasa Balantak yang merupakan nama dari RUMPUT BERDURI YANG DAPAT MENEMPEL DI PAKAIAN. Biasa disebut Rakut Sulubombong. Rumput ini biasa tumbuh di lapangan. Konon menurut Bpk. LEONARDUS Mua (Kepala Desa ke Dua  dan Tonggol atau pemangku Adat terlama hingga wafat) dan Bpk. Adelbert Mua (mantan kepala desa) mengatakan bahwa dahulu kala di daerah tersebut banyak sekali Rumput Sulubombong maka oleh tetua adat pada waktu itu menamai nama kampung yang baru itu dengan SULUBOMBONG. Nama Sulubombong BUKAN terdiri dari Sulu dan Bombong melainkan satu kata SULUBOMBONG. Mereka yang GAGAL PAHAM sejarah Sulubombong mengubah Sulubombong menjadi Sulu artinya lampu dan Bombong artinya dinding, Lampu Dinding. Mereka tidak paham bahwa kata Sulu tidak ada dalam Bahasa Balantak. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Sulubombong sudah menjadi sebuah kampung yang dihuni oleh Marga besar antara lain marga Dana, marga Mua dan sebagainya.
Agama kepercayaan masyarakat tersebut (semua suku Balantak) adalah MIMBOLIAN. MIMBOLIAN adalah percaya pada animisme dan dinamisme. Meskipun sudah memeluk agama kekristenan namun masyarakat tersebut masih ada yg menganut paham Bolianisme. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat dengan ritual-ritual adatnya. Segala sesuatu baik pengetahuan maupun tindak-tanduk masyarakat Suku Balantak bersumber dari ajaran Mimbolian. Saat ini masyaratak Desa Sulubombong sudah memeluk agama yakni Agama Kristen Katolik (mayoritas) dan Kristen Protestan. Masing-masing pemeluk agama saling menghormati dan menghargai sehingga tidak ada gesekkan yg disebabkan karena perbedaan gereja. Mata pencaharian penduduk desa ini adalah Petani, Nelayan, Aparatur Negeri Sipil, Tukang, dan Wiraswasta.

Jumat, 24 Juli 2015

Stereotipe terhadap Suku Balantak



STEREOTIPE TERHADAP SUKU BALANTAK DAN IMPLIKASINYA
(M. Muharli Mua, S.Fils)
Selayang Pandang Suku Balantak
Suku Balantak merupakan penduduk asli daerah Luwuk yang terletak di Kabupaten Banggai (Luwuk), Provinsi Sulawesi Tengah. Sejak terpisahnya Banggai menjadi Kabupaten Banggai Kepulauan (1999), maka penduduk asli daerah Luwuk saat ini terdiri dari Suku Balantak, Saluan dan Andio. Suku Balantak terletak di sebelah timur Sulawesi Tengah, persis di jazirah yang membentang panjang ke arah timur yang menyerupai kepala burung. Pada jazirah tersebut hidup dan berkembang masyarakat suku Balantak. Akan tetapi pada jazirah yang menyerupai kepala burung tersebut terdapat pula Suku Saluan di bagian utara, sedangkan di bagian timur hingga barat dihuni oleh masyarakat suku Balantak dan Andio atau Masama (bdk. M. Muharli Mua, “Suku Balantak: Sejarah, Kebudayaan dan Filsafatnya”).
Desa-desa atau kampung-kampung yang ada di daerah suku Balantak umumnya terletak di atas tanah dataran rendah dan terletak di tepi pantai dan pegunungan. Namun mayoritas desa-desa yang ada di daerah tersebut berada di daerah tepi pantai. Antara desa yang satu dengan desa yang lain tidaklah saling sambung-menyambung melainkan ada jarak beberapa kilometer. Perkampungan tersebut memanjang mengikuti jalan raya atau jalan-jalan kecil (lorong).
Kebanyakan dalam satu desa terbagi antara 3-5 dusun yang masing-masing dikepalai oleh kepala dusun. Sedangkan pemimpin di masing-masing desa disebut kepala desa (dahulu disebut Bosaano). Rumah-rumah penduduk desa menghadap jalan raya atau lorong-lorong. Jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya saling berdekatan satu dengan yang lain. Meskipun demikian, masing-masing rumah juga memiliki pekarang di bagian depan atau belakang rumahnya untuk ditanami buah-buahan, bunga, rempah-rempah dan lain sebagainya.
  Bentuk-bentuk rumah dahulu kala adalah rumah panggung (bensa’). Hal ini dibuat dengan maksud agar terhindar dari gangguan-gangguan binatang buas dan gangguan musuh seperti perampok-perampok yang datang dari Ternate yang oleh masyarakat setempat sebut sebagai manusia Tobero serta gangguan dari ata’dampas (Atadampas adalah budak yang menyelamatkan diri dari tawanan Tobero, yang hidup dan tinggal di hutan di sekitar wilayah Lamala, Mantoh dan Balantak). Menurut para tua-tua adat bahwa ata’dampas tersebut masa hidup hingga kini di hutan wilayah daerah Suku Balantak.
Seiring dengan perkembangan zaman, rumah-rumah di daerah Balantak yang sudah menggunakan model dan motif rumah modern. Atapnya ada yang dari seng dan atau rumbia. Dinding dan lantainya ada yang dari tembok, papan dan bambu. Di daerah Balantak juga terdapat rumah modern-tradisional. Artinya bahwa rumah tersebut dibuat campuran antara model modern di bagian depan rumah, sedangkan di bagian belakang (dapur) bebentuk rumah panggung dengan dasar bambuu atau papan. Namun kebanyakan rumah-rumah dibuat dengan menyesuaikan model atau motif yang sedang popular. Hal ini menyebabkan rumah tradisional Balantak hampir punah dan bahkan tidak semua orang Balantak tahu jenis dan model rumah adat tradisional suku Balantak.
Apa itu Stereotipe?
Stereotipe adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian (Matsumoto (1996). Pemberian sifat tertentu terhadap seseorang atau sekelompok orang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya karena ia berasal dari suatu kelompok tertentu (in group atau out group), yang bisa bersifat positif maupun negatif” (Amanda G., 2009). Pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut. 
Stereotipe adalah pendapat atau gambaran mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut. Kelompok ini mencakup kelompok ras, kelompok etnik, kaum tua, berbagai pekerjaan profesi, atau orang dengan penampilan fisik tertentu. Stereotipe kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap kelompok lain.
Stereotipe pada umumnya tidak memiliki sumber yang jelas, berasal dari karangan- karangan suatu kelompok tertentu atau berasal dari cerita- cerita turun temurun untuk dipakai sebagai kerangka rujukan tentang seseorang, kelompok, budaya, bangsa, hingga agama. Sehingga segala bentuk stereotipe adalah belum tentu kebenarannya, bahkan ada stereotipe yang salah sama sekali kebenarannya. Tidak sedikt orang menjadikan stereotipe sebagai alasan untuk mengucilkan kelompok lain berarti orang tersebut tidak menganggap bahwa manusia memiliki keunikan yang bermacam- macam.  Beberapa poin penting dari definisi stereotip di atas antara lain penilaian yang bersifat subjektif dan dapat berupa kesan positif maupun negatif. Walaupun lebih cenderung negatif. Stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh orang/kelompok lain. Apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap orang/kelompok itu biasanya akan menghilang.
Stereotipe terhadap Suku Balantak dan implikasinya
            Stereotipe masyarakat luar terhadap suku Balantak yakni orang-orang Balantak jago dalam hal ilmu-ilmu hitam maupun ilmu putih. Pandangan ini disatu sisi memberikan kesan positif namun sekaligus juga negatif. Memang tak dapat dipungkiri semua suku yang ada di muka bumi ini pasti memiliki ‘ilmu hitam dan ilmu putih’ yang merupakan warisan dari para leluhur turun-temurun. Jadi, tak hanya suku Balantak yang memiliki kepercayaan akan kekuatan-kekuatan magis. Begitu pula dengan suku-suku yang ada di daerah Luwuk seperti suku Banggai dan suku Saluan pun memiliki kepercayaan seperti demikian. Lantas, apa saja yang dimaksud dengan ilmu hitam dan ilmu putih? Yang termasuk dalam ilmu hitam adalah kekuatan-kekuatan magis yang dapat merusak, mengganggu bahkan membunuh orang lain. Kekuatan-kekuatan magis tersebut yang ada dalam masyarakat suku Balantak antara lain yakni Bapongko (kekuatan magis yang dapat membunuh orang dengan cara sadis sesuai keinginan pelaku), Bapopok (membunuh orang lain dengan memakan hati seseorang di malam hari. Hal ini dilakukan pada malam hari dengan ciri-cirinya kepala terbang bersama isi perut. Balalais (mengganggu orang secara perlahan-lahan menderita hingga mati), Baraba (menggagalkan niat dan usaha orang lain yang sedang berkembang atau maju, merusak hubungan orang lain, menghancurkan orang lain), Banampe (kekuatan magis untuk memikat orang lain agar tertarik atau jatuh cinta kepada kita, tunduk kepada kita dan percaya kepada kita) dan lain sebagainya. Sedangkan yang  termasuk dalam ilmu putih adalah mengobati orang yang sakit yang disebut mamakuli. Mamakuli juga termasuk mengobati orang yang kena ilmu hitam seperti yang telah disebutkan di atas. Momoloopi, yakni memandikan orang lain agar tidak terkena serangan ilmu jahat sekaligus mengeluarkan kekuatan jahat yang sudah masuk ke dalam tubuh. Monsuma’ yakni mengobati orang sakit seperti flu, demam atau sakit fisik lainnya yang disebabkan karena daya tahan tubuh lemah, dan lain sebagainya.
         Selain ilmu hitam dan ilmu putih, ada juga ilmu yang dipakai untuk menjaga diri bila mendapat serangan atau gangguan dari orang lain. Ilmu ini dapat menjadi ilmu hitam apabila disalahgunakan. Mereka yang memiliki ilmu putih pasti memiliki ilmu hitam karena melalui ilmu hitam tersebut mereka bisa mengobati. Hal ini tidak sembarang orang memiliki kedua kekuatan tersebut, hanya orang-orang tertentu saja. Apabila ilmu-ilmu disalahgunakan akan berakibat fatal untuk diri sendiri maupun keluarga dan orang lain. Dalam setiap kampung  yang ada di wilayah suku Balantak, tidak semua orang memiliki ilmu hitam maupun ilmu putih.
          Patut diakui bahwa suku Balantak adalah suku yang paling kuat diantara suku-suku yang ada di Sulawesi Tengah bahkan paling ditakuti di Kabupaten Banggai hingga Kepulauan Banggai. Dalam sejarahnya, ketika para penjajah dan para serdadu dari Kerajaan Tidore (Tobelo, namun orang Balantak menyebutnya dengan orang-orang Tobero. Hingga kini, Tobero diasosiasikan oleh orang Balantak sebagai orang-orang jahat, pencuri dan perampok) yang mau menjajah dan menguasai suku ini, maka mereka bisa menghalaunya dengan cara berperang dan menggunakan kekuatan-kekuatan ilmu sakti. Seperti contoh ketika para serdadu Tobero datang menyerang wilayah Balantak, mereka banyak yang tewas dan tidak kembali lagi ke Ternate. Tempat-tempat penyerbuan kedua kubu ini antara lain yakni di Eetap (antara Desa Boras dan desa Sulubombong) dan di Oan (antara Desa Lonas dan desa Tombos). Peristiwa ini masih segar diingatan para tua-tua adat di negeri Balantak. Seorang pemberani yang sangat terkenal, yang patut diabadikan namanya yakni ANDULU. Andulu adalah seorang pejuang, pemberani dan pembela suku Balantak. Ia bukan seorang raja atau bangsawan namun seorang rakyat jelata yang bangkit untuk melawan ketidakadilan dan memperjuangkan kehidupan seluruh rakyat di negeri Balantak. Menurut para tua-tua adat Balantak, Andulu berasal dari Balantak Lo’on yakni dari Sulubombong. Hingga kini, ada keturunan Andulu yang masih menyimpan warisannya bahkan termasuk rambut Andulu. Untuk mengetahui dan melihat warisan sang heroik ini bukanlah hal yang mudah dan tidak sembarang tempat untuk memperlihatkannya. Bahkan tidak semua orang Balantak mengetahui pemegang warisan tersebut. Tentu saja, Andulu tidak berperang sendirian melainkan bersama keluarga dan orang-orang Balantak lainnya.
        Melalui penelusuran historis ini maka dapat dikatakan bahwa orang Balantak memang pemberani dan pembela negerinya. Dahulu memang ilmu kekuatan masih kuat dan sangat diperlukan guna menyelamatkan diri dari bangsa penjajah dan penguasa. Ilmu-ilmu itu tentunya masih diwariskan hingga kini. Akan tetapi tidak sembarang orang dapat diberikan ilmu magis tersebut. Sama halnya dengan suku-suku Indian, suku Dayak dan suku-suku di Papua pun memiliki ilmu-ilmu kekuatan magis. Dalam konteks ini, tidak semua orang Balantak memiliki baik ilmu hitam maupun ilmu putih karena hal ini tidak sembarang untuk diajarkan dan tidak sembarang pula diberikan.
           Dalam sejarahnya, suku Balantak adalah pemberani dan pemegang ilmu-ilmu sakti tertinggi di antara suku-suku yang ada di wilayah Kabupaten Banggai dan Kepulauan Banggai maka hal ini berimplikasi pada stereotipe pada masyarakat suku Balantak. Stereotipe positifnya adalah suku Balantak pemberani, tidak mudah untuk ditaklukan, dapat mengobati sakit penyakit akibat serangan ilmu hitam dll. Sedangkan stereotipe negatifnya adalah masyarakat suku Balantak memiliki ilmu-ilmu hitam.
Implikasi dari streotipe ini, pertama ada keyakinan dalam diri suku-suku lain bahwa semua orang Balantak baik anak kecil hingga anak dewasa pasti dibekali ilmu sakti. Karena dibekali ilmu-ilmu sakti maka orang Balantak disegani sekaligus juga selalu dicurigai. Mengapa? Karena bila ada suku lain yang menetap atau tinggal untuk beberapa hari di salah satu desa di daerah Balantak mengalami sakit, dipastikan mereka akan menyimpulkan bahwa mereka sakit karena terkena serangan ilmu jahat dari suku Balantak. Padahal mungkin saja orang tersebut terkena flu tapi karena sudah terkenal dengan ilmu hitam maka sakit fisik pun dikait-kaitkan dengan ilmu hitam. Akibatnya pula, semua orang Balantak selalu dicurigai dimana-mana, terlebih khusus di daerah Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan. Contoh lain misalanya; ada seorang cowok suku Balantak berpacaran dengan suku non Balantak. Masyarakat non Balantak dipastikan akan mengatakan bahwa gadis tersebut pasti sudah terkena ilmu sakti dari Balantak. Padahal keduanya saling cinta dan tidak ada ilmu-ilmu yang dipakai. Bahkan ketika orang Balantak menjadi pemimpin atau sukses, ada kecurigaan bahwa kesuksesan tersebut diperoleh dengan kekuatan-kekuatan magis. Anggapan-anggapan negatif merupakan pembunuhan karakter terhadap anak negeri.
Implikasi yang kedua adalah terhambatnya pembangunan di wilayah suku Balantak. Mengapa terhambat? Karena orang-orang takut untuk bekerja di wilayah ini. Ada beberapa teman yang mengaku bahwa mereka takut pergi ke daerah Balantak bahkan ada pula yang rela untuk tidak mau dimutasi pekerjaannya di wilayah ini. Alasannya karena takut kena santet. Dalam konteks ini, saya berpikir bahwa terhambatnya pembangunan dan infrastruktur prasarana dan sarana di wilayah suku Balantak terjadi mungkin saja disebabkan karena adanya anggapan bahwa adat istiadat masyarakat setempat masih kuat sehingga membuat para penentu kebijakan di daerah ini terkesan “takut” untuk membuat terobosan pembangunan di negeri ini. Bila dikontraskan dengan daerah Batui hinggai Toili, pembangunan infrastruktur jalan dan lain sebagainya masih lebih baik dibandingkan dengan wilayah Balantak. Disini ada ketimpangan kebijakan yang tidak merata. Lantas saya berpikir, hal ini terjadi karena adanya ketakutan pada budaya masyarakat setempat ataukah ada diskriminasi pembangunan? Ataukah hal ini disebabkan karena faktor struktural yang diskrimanatif atau faktor kultural masyarakat setempat? Tentu kita tidak bisa memberikan jawaban yang spekulatif akan tetapi perlu ada kajian yang objektif dan kritis tentang permasalahan ini.
KESIMPULAN dan SARAN
         Suku Balantak adalah suku asli daerah Luwuk yang pantas untuk diangkat dan dikembangkan kebudayaannya. Anggapan-anggapan negatif terhadap suku ini haruslah disingkirkan. Tidak semua masyarakat suku Balantak memiliki ilmu hitam dan ilmu putih. Ilmu sakti ini hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja dan tidak sembarang digunakan. Orang-orang Balantak adalah masyarakat yang ramah dan memiliki tata krama. Bila kalian datang di negeri ini dengan tujuan yang baik, hati yang mulai dan bekerja dengan baik maka mereka pun akan menghargai dan mencintai anda. Buanglah pikiran-pikiran negatif anda tentang suku Balantak karena mereka tidak senegatif yang anda pikirkan itu. Janganlah takut untuk bekerja di daerah ini karena mereka sangat menghormati sesama yang mau bekerja untuk daerahnya. Anggapan negatif terhadap suku Balantak dengan sendirinya terbantahkan karena tidak semua orang Balantak memiliki ilmu sakti. Kepada BUPATI dan Wakil BUPATI Kabupaten Banggai, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Banggai, Sekretaris Daerah Kabupaten Banggai, para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Banggai, MARILAH, PALINGKANLAH wajah anda untuk membangun Suku Balantak yang meliputi wilayah Masama, Lamala, Mantoh dan Balantak. TENGOKLAH ke dalam suku ini, akan betapa indahnya bila anak-anak negeri ini diperhatikan secara optimal. Berdayakanlah mereka, tingkatkan perekonomian mereka dan sekolahkan anak cucu mereka.
Catatan: Referensi dalam karya tulis ini merujuk dalam karya tulis M.Muharli Mua, S.Fils yang telah banyak melakukan riset tentang Suku Balantak.

Sabtu, 12 April 2014

Panoptik Michel Foucault



PANOPTIK KEKUASAAN PATUNG YANG TERUS MENGAWASI
(M.Muharli Mua, S.Fils)

LATAR BELAKANG
Dalam karya klasiknya, Panopticon; Or The Inspector House yang terbit tahun 1787, Jeremy Bentham membuat sebuah proposal tentang sebuah model yang bisa dipakai untuk membangun sistem penjara dengan seluruh lingkungannya yang secara total bisa dikontrol[1]. Model tersebut ia sebut sebagai Panopticon. Dalam Panopticon satu orang pengawas di menara bisa mengawasi aktivitas banyak orang dalam tahanan. Yang dikembangkannya adalah sebuah model pengawasan melalui apa segelintir kecil orang (para sipir atau pengawas, dan atasannya) secara konstan mengawasi banyak orang (the few watch the many). Para tahanan tahu bahwa mereka selalu berada dalam pengawasan, tapi tidak satu pun dari mereka tahu kapan pengawasan dilakukan (Foucault, 1995: 200). Interpretasi Foucault atas gagasan Bentham memberi penekanan pada efek kekuasaan yang dilihatnya berlaku otomatis dalam sistem Panopticon. Kekuasaan harus terlihat atau tampak tapi tidak bisa diverifikasi (visible and unverifiable) Kuasa harus tampak dalam arti bahwa tahanan akan secara konstan melihat di depan matanya sisi bangunan tinggi menara pusat pengawasan dari mana mereka diintai. Kuasa harus tidak bisa diverifikasi dalam arti bahwa tahanan harus tidak pernah tahu kapan persisnya ia sedang diawasi pada satu saat tertentu. Kondisi mental yang dihasilkannya mengakibatkan setiap tahanan selalu menimpakan beban pada diri mereka sendiri. Beban bahwa mereka diawasi setiap saat oleh sebuah kekuasaan yang tidak tampak bagi mereka.
Kekuasaan menjadi sebuah tatapan tak berwajah (faceless gaze) yang akan terus mengawasi seluruh tingkah laku mereka. Identitas kolektif dihapuskan, dan digantikan oleh satu kumpulan identitas dari individu-individu yang terpisah, sehingga dalam kaca mata para penjaga atau pengawas di menara, yang ada bukan identitas kolektif melainkan, dalam bahasa Foucault, “sebuah multiplisitas yang bisa dihitung dan diarahkan” (Foucault, 1995: 201).   Mereka yang berada dalam tahanan model Panopticon pada dasarnya telah berubah menjadi agen penindasan bagi dirinya sendiri. Para tahanan, dengan kalimat lain, mengalami sebuah situasi yang dilukiskan Foucault sebagai penindasan-diri (self oppressed). Salah satu dogma yang berlaku di kalangan mereka yang mengalami situasi mental seperti itu adalah bahwa individu-individu mutlak memerlukan perlindungan, dan mereka hanya bebas sejauh tidak melanggar aturan. Itulah yang dimaksud Foucault dengan proses normalisasi. Bagi Foucault, Panopticon bisa dilihat sebagai sebuah susunan arsitektur yang memungkinkan relasi kuasa dilihat sebagai sesuatu yang mandiri terlepas dari siapa yang menggunakan kekuasaan tersebut.
Sehingga, Foucault mengemukakan bahwa penjara Panoptikon merupakan suatu instrumen fisik/alat (means) yg memungkinkan semua mekanisme disiplin dilakukan. Panopticon juga merupakan laboratorium, tempat untuk melakukan eksperimen terhadap individu, mengumpulkan informasi mengenai individu serta menganalisis secara menyeluruh  apa yg bisa dicapai dari perilaku mereka. Apakah tindakan bisa menjadi korektif training atau tidak. Sehingga sesungguhnya, penjara panopticon memberikan power of mind. Mesin untuk menciptakan individu sesuai yang diharapkan. Mengubah para tahanan menjadi individu yang setidaknya berguna bagi society. Menjadi jelas bahwa model Panopticon digunakan Foucault untuk memeriksa relasi-relasi kuasa yang beroperasi dalam hampir seluruh bentuk institusi masyarakat modern. Baginya bentuk fisik bangunan tidak terlampau penting, karena yang utama adalah bagaimana kekuasaan menyebar luas dalam relasi-relasi sosial secara subtil, sehingga tidaklah mengherankan bahwa penjara-penjara sekarang makin mirip dengan pabrik, sekolah, barak militer, rumah sakit, yang semuanya juga memang mirip penjara (Foucault, 1995: 228).

Dalam kaitannya dengan panoptikum tersebut, penulis mengkaitkannya dengan POLRI dalam hal ini Polisi lalu lintas. Fungsi polisi dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat, penegakkan hukum,mempunyai tanggung jawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan maupun bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram (Bahtiar: 1994 :1). Dengan kata lain kegiatan-kegiatan polisi adalah berkenaan dengan sesuatu gejala yang ada dalam kehidupan sosial dari sesuatu masyarakat yang dirasakan sebagai beban atau gangguan yang merugikan para anggota masyarakat tersebut (Suparlan: 1999). Polisi lalu lintas sebagai polisi sipil yang demokratis dan diakhiri dengan kesimpulan dan saran yang dapat dijadikan acuan atau strategi membangun citra Polisi RI pada umumnya dan polisi lalu lintas khususnya. Polisi sipil yang modern dan demokratis adalah polisi yang mengedepankan kemampuan pengetahuannya dalam menciptakan, memelihara dan memperbaiki keteraturan sosial (Kamtibmas). Pola pemolisiannya lebih mengedepankan pencegahan, dan upaya-upaya membereikan pencerahan kepada masyarakat untuk berperan serta. Dan penilaian keberhasilan polisi bukan semata-mata pada pengungkapan kasus atau crime fighter, tetapi adalah pada maintenance order atau restorative order.
Polisi lalu lintas adalah unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas, registrasi dan identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas, guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Pelayanan kepada masyarakat di bidang lalu lintas dilaksanakan juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, karena dalam masyarakat yang modern lalu lintas merupakan faktor utama pendukung produktivitasnya. Dan dalam lalu lintas banyak masalah atau gangguan yang dapat menghambat dan mematikan proses produktivitas masyarakat. Seperti kecelakaan lalu lintas, kemacetan maupun tindak pidana yang berkaitan dengan kendaraan bermotor. Untuk itu polisi lalu lintas juga mempunyai visi dan misi yang sejalan dengan bahasan Polisi RI di masa depan.
Bertitik tolak dari pemahaman tersebut maka penulis ingin melihat bagaimana kekuasaan kepolisian degan menggunakan panoptik patung polisi lalu lintas di jalan. Pembahasan menggunakan analisis Foucault tentang disiplin dan hukuman yang berfokus pada panoptikum. Dengan kata lain, penulisan ini mau menganalisa bagaimana panoptikum memiliki kuasa atau pengaruh kepada masyarakat. Panoptikum yang dimaksud disini adalah patung-patung polisi yang didirikan di jalanan.

KERANGKA PEMIKIRAN
Disiplin dan Hukuman
Pada abad ke-17 dan 18, disiplin adalah sarana untuk mendidik tubuh. Praktik disiplin diharapkan melahirkan tubuh-tubuh yang patuh. Hal ini tidak hanya terjadi di penjara, tetapi juga dalam bidang pendidikan, tempat kerja, militer dan sebagainya Masyarakat selanjutnya berkembang menurut disiplin militer. Foucault beranggapan bahwa di era monarkial tiap proses penghukuman kriminal baru dianggap serius apabila telah melibatkan elemen penyikasaan tubuh dalam pelaksanaannya[2].
Pelaksanaan disiplin amat berhubungan dengan kuasa yang mengontrol. Foucault menguraikan bahwa fenomena disiplin tubuh selalu dikontrol oleh dua instrumen disiplin  yang diterapkan dari disiplin militer dalam masyarakat. Pertama, melalui observasi hirarkis atau kemampuan aparatus untuk mengawasi semua yang berada di bawahnya dengan satu kriteria tunggal. Panopticon yang terungkap dalam menara sebagai pusat penjara adalah bentuk fisik dari instrumen ini. Dengan adanya panopticon ini kekuasaan sipir menjadi sangat besar sebab para tawanan berusaha menahan diri mereka sendiri[3]. Mereka takut dipantau. Kehadiran struktur itu sendiri sudah merupakan satu mekanisme kekuasaan dan disiplin yang luar biasa.
Instrumen kedua adalah menormalkan penilaian moral dan menghukum para pelanggar moral[4]. Dalam hal ini kekurangan disamakan dengan kejahatan. Selain dipenjarakan, orang-orang yang menyimpang dipertontonkan. Maksudnya adalah menunjukkan kepada masyarakat betapa dekatnya manusia dengan binatang, dan manusia lain akan diperlakukan secara yang sama apabila mereka keluar dari batas-batas yang dipandang waras oleh masyarakat. Dalam keseluruhan penanganan atas penyimpangan-penyimpangan ini, psikiater atau aparat sebenarnya tidak berperan sebagai ilmuwan, tetapi sebagai kekuasaan yang mengadili.
Foucault membayangkan menara pengawas dalam panoptisme selain dioperasikan oleh petugas, dapat dipergunakan oleh banyak individu dengan pelbagai kepentingan. Ia dapat menjadi tempat seorang filsuf yang haus pengetahuan akan manusia menjadi museum manusia. Ia bahkan menjadi tempat bagi mereka yang tergolong mempunyai sedikit penyimpangan seksual memperoleh kenikmatan dengan mengintip orang-orang[5]. Dalam panoptisme inilah Foucault memperlihatkan adanya kekuasaan yang teselubung dalam pelbagai institusi dan lembaga.

Panoptik
Panopticon pada awalnya adalah konsep bangunan penjara yang dirancang oleh filsuf Inggris dan teoretisi sosial Jeremy Bentham pada 1785. Konsep desain penjara itu memungkinkan seorang pengawas untuk mengawasi (-opticon) semua (pan-) tahanan, tanpa tahanan itu bisa mengetahui apakah mereka sedang diamati. Karena itu, konsep Panopticon ini menyampaikan apa yang oleh seorang arsitek disebut ”sentimen kemahatahuan yang tidak terlihat”. Bentham memperoleh ide Panopticon ini dari rencana pembangunan sekolah militer di Perancis, yang dirancang untuk memudahkan pengawasan. Rancangan awal itu sendiri berasal dari kakak Bentham, Samuel, yang menjadikan Panopticon sebagai solusi bagi rumitnya keterlibatan, dalam upaya menangani sejumlah besar orang. Panopticon oleh Bentham dimaksudkan sebagai model penjara yang lebih murah dibandingkan penjara lain pada masanya, karena hanya membutuhkan sedikit staf. Pada perkembangannya kemudian, Panopticon bukan lagi sekadar desain arsitektur, namun ia menjadi suatu model pengawasan dan pendisiplinan masyarakat, yang juga diterapkan sampai zaman sekarang. Filsuf yang mengulas masalah pendisiplinan masyarakat dengan model Panopticon ini adalah Michel Foucault. Desain Panopticon ini disebut oleh Michel Foucault dalam bukunya Surveiller et punir: Naissance de la Prison (1975) yang terbit di Perancis, dan lalu diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977). Desain Panopticon ini menjadi metafora bagi masyarakat “disiplin” modern dan kecenderungannya yang menyebar, untuk mengawasi dan menormalisasi.
Istilah panoptik diambil oleh Foucault dari model sebuah penjara bernama panoptikon yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1971). Penjara ini berbentuk sebuah lingkaran besar dan memiliki sel tahanan yang bertingkat-tingkat. Tepat di tengah lingkaran itu berdiri sebuah menara pengawas yang dilengkapi sebuah lampu yang bercahaya amat keras. Seperti mercusuar, lampu pada menara ini akan terus berputar menyusuri setiap tingkat sel tahanan. Siang dan malam, setiap tahanan akan terus-menerus merasa terawasi, meskipun mereka tidak tahu apakah betul-betul ada seorang petugas yang sedang berjaga-jaga di menara itu (Foucault, Discipline and Punishment, The Birth of the Prison, 1979:200). Dengan sistem panoptik, pengawasan dapat dilakukan secara menyeluruh dan total, tidak ada yang dapat ditutuptutupi. Sebab seluruh aktivitas para tahanan di dalam sel dapat terlihat dengan telanjang. Melalui sistem panoptik ini penegakan disiplin dapat terlaksana dengan lebih mudah dan efisien (Haryatmoko:2002, Basis).
Efek dari sistem panoptik ini adalah kesadaran bahwa diri ini selalu ada dalam pengawasan dan kesadaran bahwa tubuh ini dilihat secara permanen (tubuh dalam konsep ini pun menjadi objek yang pasif). Kesadaran ini menjamin berlangsungnya fungsi kekuasaan (otoritas) secara otomatis. Sistem panoptik memungkinkan pengawasan dilakukan secara tidak teratur atau diskontinyu, tetapi efeknya, kesadaran akan rasa diawasi itu, berlangsung secara kontinyu dan permanen. Foucault mengatakan bahwa sistem panoptik merupakan sistem di mana hubungan kekuasaan menjadi total meskipun tidak bersifat fisik. Kehadiran fisik, atau pengawasan, cukup sesekali saja. Sistem ini bersembunyi, ada atau tidak ada. Seperti analogi seorang petugas pengawas menara panoptik yang mungkin tidak sedang berada di menara dan tengah asik beristirahat meminum kopi. Tetapi para tahanan tidak diberikan kesempatan untuk tahu. Apa yang mereka tahu hanya satu: bahwa mereka sedang diawasi, 24 jam setiap hari.


PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Panoptik kekuasaan patung yang terus mengawasi
Polisi lalu lintas adalah unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas, registrasi dan identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas, guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Pelayanan kepada masyarakat di bidang lalu lintas dilaksanakan juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, karena dalam masyarakat yang modern lalu lintas merupakan faktor utama pendukung produktivitasnya. Dan dalam lalu lintas banyak masalah atau gangguan yang dapat menghambat dan mematikan proses produktivitas masyarakat. Seperti kecelakaan lalu lintas, kemacetan maupun tindak pidana yang berkaitan dengan kendaraan bermotor. Para petugas kepolisian pada tingkat pelaksana menindaklanjuti kebijakankebijakan pimpinan terutama yang berkaitan dengan pelayanan di bidang SIM, STNK, BPKB dan penyidikan kecelakaan lalu lintas. Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang digagas oleh Departemen Perhubungan, dibuat agar penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan sesuai harapan masyarakat, sejalan dengan kondisi dan kebutuhan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan saat ini, serta harmoni dengan Undang-undang lainnya. Yang lebih penting dari hal tersebut adalah bagaimana kita dapat menjawab dan menjalankan amanah yang tertuang didalamnya. Sesuai dengan Pasal 7 ayat 2e dinyatakan :”bahwa tugas pokok dan fungsi Polri dalam hal penyelenggaraan lalu lintas sebagai suatu : “urusan pemerintah di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penegakkan hukum, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta pendidikan berlalu lintas”.
Description: C:\Users\Toshiba\Pictures\Patung-Polantas.jpg Description: http://i1284.photobucket.com/albums/a568/pietererico/Pontianak%202013/WP_20131001_034.jpg
Sumber: Gambar 1. http://pontianak.tribunnews.com/2012/02/28/150-polisi-pontianak-turun-ke-jalan

Petugas kepolisian merupakan aparat negara yang harus menjamin tegaknya kedisiplinan dalam masyarakat. Maka kepolisian merupakan sebuah organisasi yang memiliki otoritas (kekuasaan) untuk mendisiplinkan. Sayangnya, di Indonesia polisi terlanjur memiliki citra yang buruk. Citra ini diperoleh dari kasuskasus yang terjadi di sekitar kita, seperti penilangan (dengan alasan legal yang dibuatbuat), meminta uang kepada masyarakat di luar mekanisme, dan lain sebagainya. Hal ini akhirnya membuat masyarakat malas berurusan dengan petugas kepolisian, baik mereka yang salah maupun mereka yang benar. Padahal seharusnya, kita tahu bahwa yang sepantasnya merasa takut hanyalah mereka yang salah. Citra buruk ini juga hinggap pada patung polisi yang berdiri membisu di persimpangan jalan itu. Patung ini begitu mirip dengan petugas kepolisian sehingga membuat takut para pengguna jalan yang melihatnya. Kemiripan ini dapat dilihat melalui tandatanda berikut: seragam dinas yang lengkap, lokasi penempatan, posisi berdiri (gestur dan sikap tubuh), dan juga ciriciri tubuh patung tersebut:
Seragam. Patung diatas mengenakan seragam lengkap petugas kepolisian, dengan topi, ikat pinggang, dan sepatu. Patung-patung dalam gambar tersebut mirip dengan seorang aparat yang sedang bertugas. Bertugas untuk mengawasi kendaraan lalulintas.
Tempat Patung didirikan. Patung polisi pada gambar pertama didirikan di pinggir bunderan jalan di Pontianak. Sedangkan pada patung gambar kedua didirikan di perempatan jalan salah satu jalan di Pontianak, dimana di belakang patung itu terdapat ada sebuah pos polisi. Penempatan patung-patung tersebut membuat sang patung seakanakan menjadi seorang petugas polisi yang sedang bertugas. Posisi sang patung berada tepat di tengah arus lalu lintas. Posisi ini membuat persimpangan jalan itu seperti sebuah penjara panoptik, di mana pos polisi menjadi center atau menara penjaga dan patung polisi terus mengawasi. Seluruh pengguna jalan akan merasa terus-menerus diawasi. Otoritas pun tidak perlu bekerja terlalu keras sebab pada malam hari, misalnya, si benda mati ini akan tetap menjaga berlangsungnya kepatuhan dan kedisiplinan. Tak peduli panas dan hujan.
Posisi tubuh patung. Patung pada gambar pertama terkesan agak santai. Patung Polisi wanita memegang sebuah benda yang bertuliskan “Sepeda motor wajib menyalakan lampu di siang hari”. Sedangkan pada patung pria bertuliskan “Patuhilah rambu-rambu lalulintas”. Pada gambar kedua, posisi tubuh patung “Istirahat di Tempat, Grak!” Efek panoptik kian kuat terasa melalui sikap tubuh sang patung yang mengambil posisi “istirahat di tempat”. Posisi ini merupakan posisi khas dalam dunia militer ketika seorang petugas sedang berdiri sigap, mungkin untuk memperhatikan sesuatu, dalam jangka waktu yang lama. Dalam kontek ini, patung-patung tersebut telah menjadi ‘pengintai’ dan berkuasa sehingga warga pun menjadi takut.

KESIMPULAN
            Bagi Foucault penjara Panoptikon merupakan suatu instrumen fisik/alat (means) yg memungkinkan semua mekanisme disiplin dilakukan. Panopticon juga merupakan laboratorium, tempat untuk melakukan eksperimen terhadap individu, mengumpulkan informasi mengenai individu serta menganalisis secara menyeluruh  apa yg bisa dicapai dari perilaku mereka. Apakah tindakan bisa menjadi korektif training atau tidak. Sehingga sesungguhnya, penjara panopticon memberikan power of mind. Mesin untuk menciptakan individu sesuai yang diharapkan. Mengubah para tahanan menjadi individu yang setidaknya berguna bagi society. Menjadi jelas bahwa model Panopticon digunakan Foucault untuk memeriksa relasi-relasi kuasa yang beroperasi dalam hampir seluruh bentuk institusi masyarakat modern. Dalam konteks panoptikum patung polisi di jalanan menunjukkan adanya kekuasaan. Patung tersebut menjadi instrumen untuk melakukan pengawasan agar orang-orang atau pengendara kendaraan merasa diawasi. Meskipun hanya sebagai sarana tetapi patung tersebut menjadikan warga masyarakat terkontrol dan diawasi oleh patung tersebut yang notabene adalah benda mati. Dengan demikian menjadikan warga takut terhadap kekuasaan panoptik tersebut.
           
DAFTAR PUSTAKA
Ana Nadhya Abrar (ed). 2001. Konstruksi Seksualitas. Antara Hak dan Kekuasaan. Pusat Penelitian Kependudukan UGM.
Foucault. 2011. Agama, Seksualitas dan Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra
Foucault, Michel. 1995.  Discipline And Punish, The Birth of The Prison. Random House, Inc : New York
Haryatmoko. 2002, Basis. Tahun 15-16. Edisi Desember 2002.


[1]http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/menarasikan_cyberspace.html). Diunduh tanggal 25 Desember 2013
[2] Seno Joko Suyono, Tubuh Yang Rasis (Yogyakarta: Pustaka Relajar, 2002), pp. 338-339.
[3] Ibid, pp. 424-426.
[4] Ibid, p. 435.
[5] Ibid, hlm.. 437.