PANOPTIK
KEKUASAAN PATUNG YANG TERUS MENGAWASI
(M.Muharli
Mua, S.Fils)
LATAR BELAKANG
Dalam karya
klasiknya, Panopticon; Or The Inspector House yang terbit tahun 1787, Jeremy
Bentham membuat sebuah proposal tentang sebuah model yang bisa dipakai untuk
membangun sistem penjara dengan seluruh lingkungannya yang secara total bisa
dikontrol[1].
Model tersebut ia sebut sebagai Panopticon. Dalam Panopticon satu orang
pengawas di menara bisa mengawasi aktivitas banyak orang dalam tahanan. Yang
dikembangkannya adalah sebuah model pengawasan melalui apa segelintir kecil
orang (para sipir atau pengawas, dan atasannya) secara konstan mengawasi banyak
orang (the few watch the many). Para tahanan tahu bahwa mereka selalu berada
dalam pengawasan, tapi tidak satu pun dari mereka tahu kapan pengawasan
dilakukan (Foucault, 1995: 200). Interpretasi Foucault atas gagasan Bentham
memberi penekanan pada efek kekuasaan yang dilihatnya berlaku otomatis dalam
sistem Panopticon. Kekuasaan harus terlihat atau tampak tapi tidak bisa
diverifikasi (visible and unverifiable) Kuasa harus tampak dalam arti bahwa
tahanan akan secara konstan melihat di depan matanya sisi bangunan tinggi
menara pusat pengawasan dari mana mereka diintai. Kuasa harus tidak bisa
diverifikasi dalam arti bahwa tahanan harus tidak pernah tahu kapan persisnya
ia sedang diawasi pada satu saat tertentu. Kondisi mental yang dihasilkannya
mengakibatkan setiap tahanan selalu menimpakan beban pada diri mereka sendiri.
Beban bahwa mereka diawasi setiap saat oleh sebuah kekuasaan yang tidak tampak
bagi mereka.
Kekuasaan
menjadi sebuah tatapan tak berwajah (faceless gaze) yang akan terus mengawasi
seluruh tingkah laku mereka. Identitas kolektif dihapuskan, dan digantikan oleh
satu kumpulan identitas dari individu-individu yang terpisah, sehingga dalam
kaca mata para penjaga atau pengawas di menara, yang ada bukan identitas
kolektif melainkan, dalam bahasa Foucault, “sebuah multiplisitas yang bisa
dihitung dan diarahkan” (Foucault, 1995: 201). Mereka yang berada
dalam tahanan model Panopticon pada dasarnya telah berubah menjadi agen penindasan
bagi dirinya sendiri. Para tahanan, dengan kalimat lain, mengalami sebuah
situasi yang dilukiskan Foucault sebagai penindasan-diri (self oppressed).
Salah satu dogma yang berlaku di kalangan mereka yang mengalami situasi mental
seperti itu adalah bahwa individu-individu mutlak memerlukan perlindungan, dan
mereka hanya bebas sejauh tidak melanggar aturan. Itulah yang dimaksud Foucault
dengan proses normalisasi. Bagi Foucault, Panopticon bisa dilihat sebagai
sebuah susunan arsitektur yang memungkinkan relasi kuasa dilihat sebagai
sesuatu yang mandiri terlepas dari siapa yang menggunakan kekuasaan tersebut.
Sehingga,
Foucault mengemukakan bahwa penjara Panoptikon merupakan suatu instrumen
fisik/alat (means) yg memungkinkan semua mekanisme disiplin dilakukan. Panopticon
juga merupakan laboratorium, tempat untuk melakukan eksperimen terhadap
individu, mengumpulkan informasi mengenai individu serta menganalisis secara
menyeluruh apa yg bisa dicapai dari perilaku mereka. Apakah tindakan bisa
menjadi korektif training atau tidak. Sehingga sesungguhnya, penjara panopticon
memberikan power of mind. Mesin untuk menciptakan individu sesuai yang
diharapkan. Mengubah para tahanan menjadi individu yang setidaknya berguna bagi
society. Menjadi jelas bahwa model Panopticon digunakan Foucault untuk
memeriksa relasi-relasi kuasa yang beroperasi dalam hampir seluruh bentuk
institusi masyarakat modern. Baginya bentuk fisik bangunan tidak terlampau
penting, karena yang utama adalah bagaimana kekuasaan menyebar luas dalam
relasi-relasi sosial secara subtil, sehingga tidaklah mengherankan bahwa
penjara-penjara sekarang makin mirip dengan pabrik, sekolah, barak militer,
rumah sakit, yang semuanya juga memang mirip penjara (Foucault, 1995: 228).
Dalam kaitannya dengan panoptikum
tersebut, penulis mengkaitkannya dengan POLRI dalam hal ini Polisi lalu lintas.
Fungsi polisi dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat,
penegakkan hukum,mempunyai tanggung jawab khusus untuk memelihara ketertiban
masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap
kejahatan maupun bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota masyarakat dapat
hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram (Bahtiar: 1994 :1). Dengan
kata lain kegiatan-kegiatan polisi adalah berkenaan dengan sesuatu gejala yang
ada dalam kehidupan sosial dari sesuatu masyarakat yang dirasakan sebagai beban
atau gangguan yang merugikan para anggota masyarakat tersebut (Suparlan: 1999).
Polisi lalu lintas sebagai polisi sipil yang demokratis dan diakhiri dengan
kesimpulan dan saran yang dapat dijadikan acuan atau strategi membangun citra
Polisi RI pada umumnya dan polisi lalu lintas khususnya. Polisi sipil yang
modern dan demokratis adalah polisi yang mengedepankan kemampuan pengetahuannya
dalam menciptakan, memelihara dan memperbaiki keteraturan sosial (Kamtibmas).
Pola pemolisiannya lebih mengedepankan pencegahan, dan upaya-upaya membereikan
pencerahan kepada masyarakat untuk berperan serta. Dan penilaian keberhasilan
polisi bukan semata-mata pada pengungkapan kasus atau crime fighter,
tetapi adalah pada maintenance order atau restorative order.
Polisi lalu lintas adalah unsur
pelaksana yang bertugas menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan,
pengaturan, pengawalan dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu
lintas, registrasi dan identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor,
penyidikan kecelakaan lalu lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas,
guna memelihara keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Pelayanan
kepada masyarakat di bidang lalu lintas dilaksanakan juga untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat, karena dalam masyarakat yang modern lalu lintas
merupakan faktor utama pendukung produktivitasnya. Dan dalam lalu lintas banyak
masalah atau gangguan yang dapat menghambat dan mematikan proses produktivitas
masyarakat. Seperti kecelakaan lalu lintas, kemacetan maupun tindak pidana yang
berkaitan dengan kendaraan bermotor. Untuk itu polisi lalu lintas juga
mempunyai visi dan misi yang sejalan dengan bahasan Polisi RI di masa depan.
Bertitik tolak dari pemahaman tersebut
maka penulis ingin melihat bagaimana kekuasaan kepolisian degan menggunakan
panoptik patung polisi lalu lintas di jalan. Pembahasan menggunakan analisis
Foucault tentang disiplin dan hukuman yang berfokus pada panoptikum. Dengan
kata lain, penulisan ini mau menganalisa bagaimana panoptikum memiliki kuasa
atau pengaruh kepada masyarakat. Panoptikum yang dimaksud disini adalah
patung-patung polisi yang didirikan di jalanan.
KERANGKA PEMIKIRAN
Disiplin dan Hukuman
Pada abad ke-17 dan 18, disiplin adalah
sarana untuk mendidik tubuh. Praktik disiplin diharapkan melahirkan tubuh-tubuh
yang patuh. Hal ini tidak hanya terjadi di penjara, tetapi juga dalam bidang
pendidikan, tempat kerja, militer dan sebagainya Masyarakat selanjutnya
berkembang menurut disiplin militer. Foucault beranggapan bahwa di era
monarkial tiap proses penghukuman kriminal baru dianggap serius apabila telah
melibatkan elemen penyikasaan tubuh dalam pelaksanaannya[2].
Pelaksanaan disiplin amat berhubungan dengan
kuasa yang mengontrol. Foucault menguraikan bahwa fenomena disiplin tubuh
selalu dikontrol oleh dua instrumen disiplin yang diterapkan dari
disiplin militer dalam masyarakat. Pertama,
melalui observasi hirarkis atau kemampuan aparatus untuk mengawasi semua yang
berada di bawahnya dengan satu kriteria tunggal. Panopticon
yang terungkap dalam menara sebagai pusat penjara adalah bentuk fisik dari
instrumen ini. Dengan adanya panopticon
ini kekuasaan sipir menjadi sangat besar sebab para tawanan berusaha menahan
diri mereka sendiri[3].
Mereka takut dipantau. Kehadiran struktur itu sendiri sudah merupakan satu
mekanisme kekuasaan dan disiplin yang luar biasa.
Instrumen kedua adalah menormalkan penilaian
moral dan menghukum para pelanggar moral[4].
Dalam hal ini kekurangan disamakan dengan kejahatan. Selain dipenjarakan,
orang-orang yang menyimpang dipertontonkan. Maksudnya adalah menunjukkan kepada
masyarakat betapa dekatnya manusia dengan binatang, dan manusia lain akan
diperlakukan secara yang sama apabila mereka keluar dari batas-batas yang
dipandang waras oleh masyarakat. Dalam keseluruhan penanganan atas
penyimpangan-penyimpangan ini, psikiater atau aparat sebenarnya tidak berperan
sebagai ilmuwan, tetapi sebagai kekuasaan yang mengadili.
Foucault membayangkan menara pengawas dalam
panoptisme selain dioperasikan oleh petugas, dapat dipergunakan oleh banyak
individu dengan pelbagai kepentingan. Ia dapat menjadi tempat seorang filsuf
yang haus pengetahuan akan manusia menjadi museum manusia. Ia bahkan menjadi
tempat bagi mereka yang tergolong mempunyai sedikit penyimpangan seksual
memperoleh kenikmatan dengan mengintip orang-orang[5].
Dalam panoptisme inilah Foucault memperlihatkan adanya kekuasaan yang
teselubung dalam pelbagai institusi dan lembaga.
Panoptik
Panopticon pada awalnya adalah konsep
bangunan penjara yang dirancang oleh filsuf Inggris dan teoretisi sosial Jeremy
Bentham pada 1785. Konsep desain penjara itu memungkinkan seorang pengawas
untuk mengawasi (-opticon) semua (pan-) tahanan, tanpa tahanan itu
bisa mengetahui apakah mereka sedang diamati. Karena itu, konsep Panopticon ini
menyampaikan apa yang oleh seorang arsitek disebut ”sentimen kemahatahuan yang
tidak terlihat”. Bentham memperoleh ide Panopticon ini dari rencana pembangunan
sekolah militer di Perancis, yang dirancang untuk memudahkan pengawasan.
Rancangan awal itu sendiri berasal dari kakak Bentham, Samuel, yang menjadikan
Panopticon sebagai solusi bagi rumitnya keterlibatan, dalam upaya menangani
sejumlah besar orang. Panopticon oleh Bentham dimaksudkan sebagai model penjara
yang lebih murah dibandingkan penjara lain pada masanya, karena hanya
membutuhkan sedikit staf. Pada perkembangannya kemudian, Panopticon bukan lagi
sekadar desain arsitektur, namun ia menjadi suatu model pengawasan dan
pendisiplinan masyarakat, yang juga diterapkan sampai zaman sekarang. Filsuf
yang mengulas masalah pendisiplinan masyarakat dengan model Panopticon ini
adalah Michel Foucault. Desain Panopticon ini disebut oleh Michel Foucault
dalam bukunya Surveiller et punir: Naissance de
la Prison (1975) yang terbit di Perancis, dan lalu diterjemahkan ke
bahasa Inggris dengan judul Discipline
and Punish: The Birth of the Prison (1977). Desain Panopticon ini
menjadi metafora bagi masyarakat “disiplin” modern dan kecenderungannya yang
menyebar, untuk mengawasi dan menormalisasi.
Istilah panoptik diambil oleh Foucault dari
model sebuah penjara bernama panoptikon yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1971). Penjara ini berbentuk sebuah
lingkaran besar dan memiliki sel tahanan yang bertingkat-tingkat. Tepat di
tengah lingkaran itu berdiri sebuah menara pengawas yang dilengkapi sebuah
lampu yang bercahaya amat keras. Seperti mercusuar, lampu pada menara ini akan
terus berputar menyusuri setiap tingkat sel tahanan. Siang dan malam, setiap
tahanan akan terus-menerus merasa terawasi, meskipun mereka tidak tahu apakah
betul-betul ada seorang petugas yang sedang
berjaga-jaga di menara itu (Foucault, Discipline and Punishment,
The Birth of the Prison,
1979:200). Dengan sistem panoptik, pengawasan dapat dilakukan secara menyeluruh
dan total, tidak ada yang dapat ditutup‐tutupi. Sebab seluruh aktivitas
para tahanan di dalam sel dapat terlihat dengan telanjang. Melalui sistem
panoptik ini penegakan disiplin dapat terlaksana dengan lebih mudah dan efisien
(Haryatmoko:2002, Basis).
Efek dari sistem panoptik ini adalah
kesadaran bahwa diri ini selalu ada dalam pengawasan dan kesadaran bahwa tubuh
ini dilihat secara permanen
(tubuh dalam konsep ini pun menjadi objek yang pasif). Kesadaran ini menjamin
berlangsungnya fungsi kekuasaan (otoritas) secara otomatis. Sistem panoptik
memungkinkan pengawasan dilakukan secara tidak teratur atau diskontinyu, tetapi
efeknya, kesadaran akan rasa diawasi itu, berlangsung secara kontinyu dan
permanen. Foucault mengatakan bahwa sistem panoptik merupakan sistem di mana
hubungan kekuasaan menjadi total meskipun tidak bersifat fisik. Kehadiran
fisik, atau pengawasan, cukup sesekali saja. Sistem ini bersembunyi, ada atau
tidak ada. Seperti analogi seorang petugas pengawas menara panoptik yang
mungkin tidak sedang berada di menara dan tengah asik beristirahat meminum
kopi. Tetapi para tahanan tidak diberikan kesempatan untuk tahu. Apa yang mereka
tahu hanya satu: bahwa mereka sedang diawasi, 24 jam setiap hari.
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Panoptik kekuasaan patung yang terus
mengawasi
Polisi lalu lintas adalah unsur pelaksana yang bertugas
menyelenggarakan tugas kepolisian mencakup penjagaan, pengaturan, pengawalan
dan patroli, pendidikan masyarakat dan rekayasa lalu lintas, registrasi dan
identifikasi pengemudi atau kendaraan bermotor, penyidikan kecelakaan lalu
lintas dan penegakan hukum dalam bidang lalu lintas, guna memelihara keamanan,
ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Pelayanan kepada masyarakat di bidang
lalu lintas dilaksanakan juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat,
karena dalam masyarakat yang modern lalu lintas merupakan faktor utama
pendukung produktivitasnya. Dan dalam lalu lintas banyak masalah atau gangguan
yang dapat menghambat dan mematikan proses produktivitas masyarakat. Seperti
kecelakaan lalu lintas, kemacetan maupun tindak pidana yang berkaitan dengan
kendaraan bermotor. Para petugas kepolisian pada tingkat pelaksana
menindaklanjuti kebijakankebijakan pimpinan terutama yang berkaitan dengan
pelayanan di bidang SIM, STNK, BPKB dan penyidikan kecelakaan lalu lintas.
Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
digagas oleh Departemen Perhubungan, dibuat agar penyelenggaraan lalu lintas
dan angkutan jalan sesuai harapan masyarakat, sejalan dengan kondisi dan
kebutuhan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan saat ini, serta
harmoni dengan Undang-undang lainnya. Yang lebih penting dari hal tersebut
adalah bagaimana kita dapat menjawab dan menjalankan amanah yang tertuang
didalamnya. Sesuai dengan Pasal 7 ayat 2e dinyatakan :”bahwa tugas pokok dan
fungsi Polri dalam hal penyelenggaraan lalu lintas sebagai suatu : “urusan
pemerintah di bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan
pengemudi, penegakkan hukum, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas,
serta pendidikan berlalu lintas”.
Sumber:
Gambar 1.
http://pontianak.tribunnews.com/2012/02/28/150-polisi-pontianak-turun-ke-jalan
Petugas
kepolisian merupakan aparat negara yang harus menjamin tegaknya kedisiplinan
dalam masyarakat. Maka kepolisian merupakan sebuah organisasi yang memiliki
otoritas (kekuasaan) untuk mendisiplinkan. Sayangnya, di Indonesia polisi
terlanjur memiliki citra yang buruk. Citra ini diperoleh dari kasus‐kasus yang terjadi di sekitar kita, seperti penilangan (dengan
alasan legal yang dibuat‐buat),
meminta uang kepada masyarakat di luar mekanisme, dan lain sebagainya. Hal ini
akhirnya membuat masyarakat malas berurusan dengan petugas kepolisian, baik
mereka yang salah maupun mereka yang benar. Padahal seharusnya, kita tahu bahwa
yang sepantasnya merasa takut hanyalah mereka yang salah. Citra buruk ini juga
hinggap pada patung polisi yang berdiri membisu di persimpangan jalan itu.
Patung ini begitu mirip dengan petugas kepolisian sehingga membuat takut para
pengguna jalan yang melihatnya. Kemiripan ini dapat dilihat melalui tanda‐tanda berikut: seragam dinas yang lengkap, lokasi penempatan,
posisi berdiri (gestur dan sikap tubuh), dan juga ciri‐ciri tubuh patung tersebut:
Seragam. Patung
diatas mengenakan seragam lengkap petugas kepolisian, dengan topi, ikat
pinggang, dan sepatu. Patung-patung dalam gambar tersebut mirip dengan seorang
aparat yang sedang bertugas. Bertugas untuk mengawasi kendaraan lalulintas.
Tempat Patung didirikan. Patung polisi pada gambar pertama didirikan
di pinggir bunderan jalan di Pontianak. Sedangkan pada patung gambar kedua
didirikan di perempatan jalan salah satu jalan di Pontianak, dimana di belakang
patung itu terdapat ada sebuah pos polisi. Penempatan patung-patung tersebut membuat
sang patung seakan‐akan menjadi seorang petugas polisi yang
sedang bertugas. Posisi sang patung berada tepat di tengah arus lalu lintas.
Posisi ini membuat persimpangan jalan itu seperti sebuah penjara panoptik, di
mana pos polisi menjadi center atau
menara penjaga dan patung polisi terus mengawasi. Seluruh pengguna jalan akan
merasa terus-menerus diawasi. Otoritas pun tidak perlu bekerja terlalu keras
sebab pada malam hari, misalnya, si benda mati ini akan tetap menjaga
berlangsungnya kepatuhan dan kedisiplinan. Tak peduli panas dan hujan.
Posisi tubuh patung. Patung pada gambar
pertama terkesan agak santai. Patung Polisi wanita memegang sebuah benda yang
bertuliskan “Sepeda motor wajib menyalakan lampu di siang hari”. Sedangkan pada
patung pria bertuliskan “Patuhilah rambu-rambu lalulintas”. Pada gambar kedua,
posisi tubuh patung “Istirahat di Tempat, Grak!” Efek panoptik kian kuat terasa melalui sikap
tubuh sang patung yang mengambil posisi “istirahat di tempat”. Posisi ini
merupakan posisi khas dalam dunia militer ketika seorang petugas sedang berdiri
sigap, mungkin untuk memperhatikan sesuatu, dalam jangka waktu yang lama. Dalam
kontek ini, patung-patung tersebut telah menjadi ‘pengintai’ dan berkuasa
sehingga warga pun menjadi takut.
KESIMPULAN
Bagi
Foucault penjara Panoptikon merupakan suatu instrumen fisik/alat (means) yg
memungkinkan semua mekanisme disiplin dilakukan. Panopticon juga merupakan
laboratorium, tempat untuk melakukan eksperimen terhadap individu, mengumpulkan
informasi mengenai individu serta menganalisis secara menyeluruh apa yg
bisa dicapai dari perilaku mereka. Apakah tindakan bisa menjadi korektif
training atau tidak. Sehingga sesungguhnya, penjara panopticon memberikan power
of mind. Mesin untuk menciptakan individu sesuai yang diharapkan. Mengubah para
tahanan menjadi individu yang setidaknya berguna bagi society. Menjadi jelas
bahwa model Panopticon digunakan Foucault untuk memeriksa relasi-relasi kuasa
yang beroperasi dalam hampir seluruh bentuk institusi masyarakat modern. Dalam
konteks panoptikum patung polisi di jalanan menunjukkan adanya kekuasaan.
Patung tersebut menjadi instrumen untuk melakukan pengawasan agar orang-orang
atau pengendara kendaraan merasa diawasi. Meskipun hanya sebagai sarana tetapi
patung tersebut menjadikan warga masyarakat terkontrol dan diawasi oleh patung
tersebut yang notabene adalah benda mati. Dengan demikian menjadikan warga
takut terhadap kekuasaan panoptik tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ana Nadhya
Abrar (ed). 2001. Konstruksi Seksualitas.
Antara Hak dan Kekuasaan. Pusat Penelitian Kependudukan UGM.
Foucault.
2011. Agama, Seksualitas dan Kebudayaan. Yogyakarta:
Jalasutra
Foucault,
Michel. 1995. Discipline And Punish, The
Birth of The Prison. Random House, Inc : New York
Haryatmoko.
2002, Basis. Tahun 15-16. Edisi Desember
2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar